Senin, 08 Februari 2016

Model Pembelajaran EXAMPLE NON EXAMPLE



Model Pembelajaran Example Non Example atau juga biasa di sebut example and non-example merupakan model pembelajaran yang menggunakan gambar sebagai media pembelajaran.  Metode Example non Example adalah metode yang menggunakan media gambar dalam penyampaian materi pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar berfikir kritis dengan jalan memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan.
Penggunaan media gambar ini disusun dan dirancang agar anak dapat menganalisis gambar tersebut menjadi sebuah bentuk diskripsi singkat mengenai apa yang ada didalam gambar. Penggunaan Model Pembelajaran Example Non Example ini lebih menekankan pada konteks analisis siswa. Biasa yang lebih dominan digunakan di kelas tinggi, namun dapat juga digunakan di kelas rendah dengan menenkankan aspek psikoligis dan tingkat perkembangan siswa kelas rendah seperti :
a. kemampuan berbahasa tulis dan lisan,
b. kemampuan analisis ringan, dan
c. kemampuan berinteraksi dengan siswa lainnya
Model Pembelajaran Example Non Example menggunakan gambar dapat melalui OHP, Proyektor, ataupun yang paling sederhana adalah poster. Gambar yang kita gunakan haruslah jelas dan kelihatan dari jarak jauh, sehingga anak yang berada di belakang dapat juga melihat dengan jelas.

Metode Example non Example juga merupakan metode yang mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah konsep. Konsep pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling banyak konsep yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Example and Nonexample adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep.
Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang terdiri dari example dan non-example dari suatu definisi konsep yang ada, dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada.
– Example memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkan
– non-example memberikan gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas.
Metode Example non Example penting dilakukan karena suatu definisi konsep adalah suatu konsep yang diketahui secara primer hanya dari segi definisinya daripada dari sifat fisiknya. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada.
 
 Menurut Buehl (1996) keuntungan dari metode Example non Example antara lain:
1. Siswa berangkat dari satu definisi yang selanjutnya digunakan untuk memperluas pemahaman konsepnya dengan lebih mendalam dan lebih komplek.
2. Siswa terlibat dalam satu proses discovery (penemuan), yang mendorong mereka untuk membangun konsep secara progresif melalui pengalaman dari Example non Example
3. Siswa diberi sesuatu yang berlawanan untuk mengeksplorasi karakteristik dari suatu konsep dengan mempertimbangkan bagian non example yang dimungkinkan masih terdapat beberapa bagian yang merupakan suatu karakter dari konsep yang telah dipaparkan pada bagian example.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
 

Langkah-langkah model-model pembelajaran example non example:
  1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran
  2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP
  3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk      memperhatikan/menganalisa gambar
  4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat    pada kertas
  5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya
  6. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai
  7. Kesimpulan

Rabu, 06 Januari 2016

Aplikasi DUPAK

Begitu mendengar kata aplikasi, kita langsung berpikir ribet waduuhhh repot nih kayaknya. Tetapi mau tidak mau kita sebagai guru harus mau belajar menyusun DUPAK satu tahun sekali. Hal ini terkait dengan penyusuna SKP, PKG, dan PKB. Aplikasi Daftar Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK) ini sangat baik kiranya Bapak/Ibu Gunakan dalam pengajuan PAK dalam DUPAK, untuk kenaikan pangkat Guru PNS pada ketentuan maka angka-angka kredit baik dari unsur utama tugasnya sebagai guru dari koneksi Penilaian Kinerja Guru (PKG) bahkan hingga unsur pengembangan diri serta publikasi karya ilmiah, baik PTK atau pun karya ilmiah lainnya.  Angka kredit yang dapat diperhitungkan merupakan penjumlahan dari 2 (dua) DUPAK, yaitu: Berdasarkan Kepmenpan Nomor 84 Tahun 1993: dihitung mulai PAK Terakhir s.d 30 Juni 2013 (DUPAK I); Berdasarkan Permennegpan & RB Nomor 16 Tahun 2009: dihitung mulai 1 Juli 2013 s.d 30 Juni 2014 (DUPAK II – menggunakan perhitungan PKG dan PKB).

Selasa, 05 Januari 2016

Manajemen Kepegawaian

Manajemen kepegawaian adalah kegiatan dibidang kepegawaian yang mencangkup kegiatan-kegiatan peneerimaan, penempatan, penggajiian, promosi, penilaian kinerja, dan pemberhentian pegawai, penilaian kinerja, dan pemberhentian pegawai negeri, dilingkungan instansi pemerintah.
Pegawai negeri adalah setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang dtentukan, diangkat oleh pejabat yang  diserahi tugas dalam suatu jabatan  negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesianal, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara pemerintahan, dan pembangunan.
Dalam tugas dan kedudukan, pegawai  negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik untuk, menjamin netralitas dimaksud, pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.
Selanjutnya, sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang nomor 45 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian dinyatakan bahwa pegawai negeri terdiri dari:
a.    Pegawai negeri sipil
b.    Anggota tentara nasional Indonesia, dan
c.    Anggota kepolisian negara  Republik  Indonesia

Administrasi

Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. Administrasi dalam arti luas adalah seluruh proses kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.

Arthur Grager 
Administrasi adalah fungsi tata penyelenggaraan terhadap komunikasi dan pelayanan warkat suatu organisasi
George Terry 
Administrasi adalah perencanaan, pengendalian, dan pengorganisasian pekerjaan perkantoran, serta penggerakan mereka yang melaksanakannya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sondang P. Siagian 
Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
William Leffingwell dan Edwin Robinson 
Administrasi adalah cabang ilmu manajemen yang berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan perkantoran secara efisien, kapan, dan dimana pekerjaan itu harus dilakukan.
Ulbert
Administrasi secara sempit didefinisikan sebagai penyusunan dan pencatatan data dan informasi secara sistematis baik internal maupun eksternal dengan maksud menyediakan keterangan serta memudahkan untuk memperoleh kembali baik sebagian maupun menyeluruh. Pengertian administrasi secara sempit ini lebih dikenal dengan istilah Tata Usaha

Rabu, 03 Desember 2008

Selasa, 02 Desember 2008

CITRA POSITIF GURU DI ERA REFORMASI

Masalah guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai media, seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena guru, berdasarkan sejumlah penelitian pendidikan, diyakini sebagai salah satu faktor dominan yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan selalu mengarahkan perhatiannya pada berbagai aspek yang berkaitan dengan guru dan keguruan.

Di antara masalah-masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan biasanya berkisar pada persoalan kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, kurangnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, dan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru. Walaupun pemerintah bersama orangtua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru ini tetap muncul sebagai masalah utama dunia pendidikan nasional kita. Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan dunia guru, kita harus menyadari, mengakui dan menerima kondisi guru saat ini apa adanya. Yang paling penting harus kita lakukan adalah menyiapkan sosok guru masa depan yang sesuai dengan tuntutan reformasi pendidikan yang sekarang ini tengah bergulir.

Selain dihadapkan dengan berbagai persoalan internal, guru juga mendapat dua tantangan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan kedua, tantangan masyarakat global. Krisis etika dan moral yang berpuncak pada kerusuhan bulan mei 1998 telah memporakporandakan tata nilai agama dan masyarakat. Etika dan tata krama bangsa yang dijunjung tinggi selama ini telah berubah menjadi bahan retorika belaka, sedangkan dalam dunia nyata nilai-nilai tersebut telah berganti dengan budaya-budaya anarkis, kekerasan, dan amoral. Era globalisasi yang kita masuki akan ditandai dengan beberapa kata kunci seperti kompetisi, transparansi, efisiensi, kualitas tinggi, dan profesionalisasi. Di samping itu, masyarakat global akan menjadi sangat peka dan peduli terhadap masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lingkungan hidup. Karena itu, peran guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi dasar anak didik, yaitu intelektual, emosional, dan moral. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut, maka sosok guru masa depan harus mampu bekerja secara profesional, yaitu secara ekonomis terjamin kesejahteraannya, dan secara politis terjamin hak-hak kewarganegaraannya.

Seorang guru yang professional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain, memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya. Dengan persyaratan semacam ini, maka tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti yang sekarang dilakukan, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Konsekuensinya, seorang guru tidak lagi menggunakan komunikasi satu arah yang selama ini dilakukan, melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga terjadi komunikasi dua arah secara demokratis antara guru dan murid. Kondisi ini diharapkan dapat menggali potensi kreativitas anak didik.

Dengan profesionalisasi guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager). Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olah raga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai, mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing/konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.

Dilihat dari segi ekonomi, tingkat kesejahteraan guru harus terus ditingkatkan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara memadai. Seorang guru dalam bekerja hanya semata-mata mengabdikan dirinya untuk kepentingan profesi dan masa depan anak bangsa, tanpa harus memikirkan masalah ekonomi diri dan keluarganya. Seorang guru setidak-tidaknya mempunyai gaji yang cukup, asuransi hidup/kecelakaan, jaminan kesehatan, dan insentif lainnya. Harapan ideal ini sudah tentu amat diharapkan oleh semua pihak, namun harus seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara umum dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Harapan ini tidak akan tercapai kalau masalah kesejahteraan guru hanya dibedakan kepada pemerintah tanpa diikuti oleh partisipasi orang tua siswa, masyarakat industri dan bisnis, pemerintah daerah, dan masyarakat pada umumnya.

Selama tiga dekade, guru dan warga sekolah secara politis dihadapkan pada pilihan yang kurang menguntungkan. Hak-hak politik seperti berkumpul, menyatakan pendapat, dan menyalurkan aspirasi politiknya kurang mendapat perlakuan yang selayaknya. Guru masa depan harus terbebas dari upaya-upaya pihak tertentu untuk memanfaatkan mereka dalam lingkaran politik praktis. Hak-hak politik guru harus dikembalikan sebagaimana layaknya setiap warga negara. Pembatasan hak-hak politik guru merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, dalam percaturan politik bangsa, guru harus bersifat netral dan demokrat karena mereka adalah pendidik semua anak bangsa.

Selasa, 25 November 2008

COOPERATIVE LEARNING

COOPERATIVE LEARNING

Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama (Hamid Hasan,1996). Dalam kegiatan kooperatif, mahasiswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan mahasiswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut (Johnson, et al., 1994; Hamid Hasan, 1996). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Slavin (1984) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok–kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Selanjutnya dikatakan pula, keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik yang secara individual maupun secara kelompok.

Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu stuktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok .

Cooperative learning lebih dari sekadar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena belajar dalam model cooperative learning harus ada “sturuktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok (Slavin, 1983; Stahl, 1994). Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl (1994) mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu system kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu “getting better together”, atau “raihlah yang lebih baik secara bersama-sama” (Slavin, 1992).

Aplikasinya di dalam pembelajaran di kelas, model pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat yang dirasakan dan dialami oleh siswa dalam kesehariannya, dengan bentuk yang disederhanakan dalam kehidupan kelas. Model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya.

Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik. Melalui belajar dari teman yang sebaya dan di bawah bimbingan guru, maka proses penerimaan dan pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.

Model belajar cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama di antara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar. Cooperative learning is more effective in increasing motive and performance students (Michaels, 1977). Model belajar cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning, pengembangan kualitas diri mahasiswa terutama aspek afektif siswa dapat dilakukan secara bersama-sama. Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip cooperative sangat baik digunakan untuk mencapai tujuan belajar, baik yang sifatnya kognitif, afektif, maupun konatif (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1994). Suasana belajar yang berlangsung dalam interaksi yang saling percaya, terbuka, dan rileks di antara anggota kelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh dan memberi masukan di antara mereka untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan moral, serta keterampilan yang ingin dikembangkan dalam pembelajaran.

Secara umum, pola interaksi yang bersifat terbuka dan langsung di antara anggota kelompok sangat penting bagi siswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Hal ini dikarenakan setiap saat mereka akan melakukan diskusi; saling membagi pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan; serta saling mengoreksi antar sesama dalam belajar. Tumbuhnya rasa ketergantungan yang positif di antara sesama anggota kelompok menimbulkan rasa kebersamaan dan kesatuan tekad untuk sukses dalam belajar. Hal ini terjadi karena dalam cooperative learning siswa diberikan kesempatan yang memadai untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi dan memperkaya pengetahuan yang dimiliki dari anggota kelompok belajar lainnya dan guru.

Suasana belajar dan rasa kebersamaan yang tumbuh dan berkembang di antara sesama anggota kelompok memungkinkan siswa untuk mengerti dan memahami materi pelajaran dengan lebih baik. Proses pengembangan kepribadian yang demikian, juga membantu mereka yang kurang berminat menjadi lebih bergairah dalam belajar (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1992; Stahl, 1994). Siswa yang kurang bergairah dalam belajar akan dibantu oleh siswa lain yang mempunyai gairah lebih tinggi dan memiliki kemampuan untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Suasana belajar seperti itu, di samping proses belajarnya berlangsung lebih efektif, juga akan terbina nilai-nilai lain (nurturant values) yang sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu nilai gotong royong, kepedulian sosial, saling percaya, kesediaan menerima dan memberi, dan tanggung jawab siswa, baik terhadap dirinya maupun terhadap anggota kelompoknya. Dalam kelompok belajar tersebut, sikap, nilai, dan moral dikembangkan secara mendasar (Hamid Hasan, 1996). Belajar secara kelompok dalam model pembelajaran ini merupakan miniatur masyarakat yang diterapkan dalam kehidupan di kelas yang akan melatih siswa untuk mengembangkan dan melatih mereka menjadi anggota masyarakat yang baik.