Selasa, 02 Desember 2008

CITRA POSITIF GURU DI ERA REFORMASI

Masalah guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai media, seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena guru, berdasarkan sejumlah penelitian pendidikan, diyakini sebagai salah satu faktor dominan yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan selalu mengarahkan perhatiannya pada berbagai aspek yang berkaitan dengan guru dan keguruan.

Di antara masalah-masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan biasanya berkisar pada persoalan kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, kurangnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, dan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru. Walaupun pemerintah bersama orangtua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru ini tetap muncul sebagai masalah utama dunia pendidikan nasional kita. Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan dunia guru, kita harus menyadari, mengakui dan menerima kondisi guru saat ini apa adanya. Yang paling penting harus kita lakukan adalah menyiapkan sosok guru masa depan yang sesuai dengan tuntutan reformasi pendidikan yang sekarang ini tengah bergulir.

Selain dihadapkan dengan berbagai persoalan internal, guru juga mendapat dua tantangan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan kedua, tantangan masyarakat global. Krisis etika dan moral yang berpuncak pada kerusuhan bulan mei 1998 telah memporakporandakan tata nilai agama dan masyarakat. Etika dan tata krama bangsa yang dijunjung tinggi selama ini telah berubah menjadi bahan retorika belaka, sedangkan dalam dunia nyata nilai-nilai tersebut telah berganti dengan budaya-budaya anarkis, kekerasan, dan amoral. Era globalisasi yang kita masuki akan ditandai dengan beberapa kata kunci seperti kompetisi, transparansi, efisiensi, kualitas tinggi, dan profesionalisasi. Di samping itu, masyarakat global akan menjadi sangat peka dan peduli terhadap masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lingkungan hidup. Karena itu, peran guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi dasar anak didik, yaitu intelektual, emosional, dan moral. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut, maka sosok guru masa depan harus mampu bekerja secara profesional, yaitu secara ekonomis terjamin kesejahteraannya, dan secara politis terjamin hak-hak kewarganegaraannya.

Seorang guru yang professional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain, memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya. Dengan persyaratan semacam ini, maka tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti yang sekarang dilakukan, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Konsekuensinya, seorang guru tidak lagi menggunakan komunikasi satu arah yang selama ini dilakukan, melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga terjadi komunikasi dua arah secara demokratis antara guru dan murid. Kondisi ini diharapkan dapat menggali potensi kreativitas anak didik.

Dengan profesionalisasi guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager). Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olah raga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai, mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing/konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.

Dilihat dari segi ekonomi, tingkat kesejahteraan guru harus terus ditingkatkan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara memadai. Seorang guru dalam bekerja hanya semata-mata mengabdikan dirinya untuk kepentingan profesi dan masa depan anak bangsa, tanpa harus memikirkan masalah ekonomi diri dan keluarganya. Seorang guru setidak-tidaknya mempunyai gaji yang cukup, asuransi hidup/kecelakaan, jaminan kesehatan, dan insentif lainnya. Harapan ideal ini sudah tentu amat diharapkan oleh semua pihak, namun harus seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara umum dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Harapan ini tidak akan tercapai kalau masalah kesejahteraan guru hanya dibedakan kepada pemerintah tanpa diikuti oleh partisipasi orang tua siswa, masyarakat industri dan bisnis, pemerintah daerah, dan masyarakat pada umumnya.

Selama tiga dekade, guru dan warga sekolah secara politis dihadapkan pada pilihan yang kurang menguntungkan. Hak-hak politik seperti berkumpul, menyatakan pendapat, dan menyalurkan aspirasi politiknya kurang mendapat perlakuan yang selayaknya. Guru masa depan harus terbebas dari upaya-upaya pihak tertentu untuk memanfaatkan mereka dalam lingkaran politik praktis. Hak-hak politik guru harus dikembalikan sebagaimana layaknya setiap warga negara. Pembatasan hak-hak politik guru merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, dalam percaturan politik bangsa, guru harus bersifat netral dan demokrat karena mereka adalah pendidik semua anak bangsa.

Tidak ada komentar: