Rabu, 03 Desember 2008

Selasa, 02 Desember 2008

CITRA POSITIF GURU DI ERA REFORMASI

Masalah guru merupakan topik yang tidak habis-habisnya dibahas dalam berbagai media, seminar, diskusi, dan workshop untuk mencari berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena guru, berdasarkan sejumlah penelitian pendidikan, diyakini sebagai salah satu faktor dominan yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan selalu mengarahkan perhatiannya pada berbagai aspek yang berkaitan dengan guru dan keguruan.

Di antara masalah-masalah yang berkaitan dengan guru dan keguruan biasanya berkisar pada persoalan kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, kurangnya tingkat kesejahteraan guru, rendahnya etos kerja dan komitmen guru, dan kurangnya penghargaan masyarakat terhadap profesi guru. Walaupun pemerintah bersama orangtua dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya perbaikan profesi guru, namun berbagai dimensi persoalan guru ini tetap muncul sebagai masalah utama dunia pendidikan nasional kita. Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan dunia guru, kita harus menyadari, mengakui dan menerima kondisi guru saat ini apa adanya. Yang paling penting harus kita lakukan adalah menyiapkan sosok guru masa depan yang sesuai dengan tuntutan reformasi pendidikan yang sekarang ini tengah bergulir.

Selain dihadapkan dengan berbagai persoalan internal, guru juga mendapat dua tantangan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan kedua, tantangan masyarakat global. Krisis etika dan moral yang berpuncak pada kerusuhan bulan mei 1998 telah memporakporandakan tata nilai agama dan masyarakat. Etika dan tata krama bangsa yang dijunjung tinggi selama ini telah berubah menjadi bahan retorika belaka, sedangkan dalam dunia nyata nilai-nilai tersebut telah berganti dengan budaya-budaya anarkis, kekerasan, dan amoral. Era globalisasi yang kita masuki akan ditandai dengan beberapa kata kunci seperti kompetisi, transparansi, efisiensi, kualitas tinggi, dan profesionalisasi. Di samping itu, masyarakat global akan menjadi sangat peka dan peduli terhadap masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lingkungan hidup. Karena itu, peran guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga intelegensi dasar anak didik, yaitu intelektual, emosional, dan moral. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut, maka sosok guru masa depan harus mampu bekerja secara profesional, yaitu secara ekonomis terjamin kesejahteraannya, dan secara politis terjamin hak-hak kewarganegaraannya.

Seorang guru yang professional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain, memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (continuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar, dan semacamnya. Dengan persyaratan semacam ini, maka tugas seorang guru bukan lagi knowledge based, seperti yang sekarang dilakukan, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Konsekuensinya, seorang guru tidak lagi menggunakan komunikasi satu arah yang selama ini dilakukan, melainkan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga terjadi komunikasi dua arah secara demokratis antara guru dan murid. Kondisi ini diharapkan dapat menggali potensi kreativitas anak didik.

Dengan profesionalisasi guru, maka guru masa depan tidak tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager). Sebagai pelatih, seorang guru akan berperan seperti pelatih olah raga. Ia mendorong siswanya untuk menguasai, mencapai prestasi setinggi-tingginya, dan membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing/konselor, guru akan berperan sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Sebagai manajer belajar, guru akan membimbing siswanya belajar, mengambil prakarsa, dan mengeluarkan ide-ide baik yang dimilikinya. Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.

Dilihat dari segi ekonomi, tingkat kesejahteraan guru harus terus ditingkatkan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara memadai. Seorang guru dalam bekerja hanya semata-mata mengabdikan dirinya untuk kepentingan profesi dan masa depan anak bangsa, tanpa harus memikirkan masalah ekonomi diri dan keluarganya. Seorang guru setidak-tidaknya mempunyai gaji yang cukup, asuransi hidup/kecelakaan, jaminan kesehatan, dan insentif lainnya. Harapan ideal ini sudah tentu amat diharapkan oleh semua pihak, namun harus seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara umum dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Harapan ini tidak akan tercapai kalau masalah kesejahteraan guru hanya dibedakan kepada pemerintah tanpa diikuti oleh partisipasi orang tua siswa, masyarakat industri dan bisnis, pemerintah daerah, dan masyarakat pada umumnya.

Selama tiga dekade, guru dan warga sekolah secara politis dihadapkan pada pilihan yang kurang menguntungkan. Hak-hak politik seperti berkumpul, menyatakan pendapat, dan menyalurkan aspirasi politiknya kurang mendapat perlakuan yang selayaknya. Guru masa depan harus terbebas dari upaya-upaya pihak tertentu untuk memanfaatkan mereka dalam lingkaran politik praktis. Hak-hak politik guru harus dikembalikan sebagaimana layaknya setiap warga negara. Pembatasan hak-hak politik guru merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, dalam percaturan politik bangsa, guru harus bersifat netral dan demokrat karena mereka adalah pendidik semua anak bangsa.

Selasa, 25 November 2008

COOPERATIVE LEARNING

COOPERATIVE LEARNING

Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama (Hamid Hasan,1996). Dalam kegiatan kooperatif, mahasiswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan mahasiswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut (Johnson, et al., 1994; Hamid Hasan, 1996). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Slavin (1984) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok–kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Selanjutnya dikatakan pula, keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik yang secara individual maupun secara kelompok.

Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu stuktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok .

Cooperative learning lebih dari sekadar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena belajar dalam model cooperative learning harus ada “sturuktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok (Slavin, 1983; Stahl, 1994). Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl (1994) mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu system kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar. Model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat, yaitu “getting better together”, atau “raihlah yang lebih baik secara bersama-sama” (Slavin, 1992).

Aplikasinya di dalam pembelajaran di kelas, model pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat yang dirasakan dan dialami oleh siswa dalam kesehariannya, dengan bentuk yang disederhanakan dalam kehidupan kelas. Model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya.

Keberhasilan belajar menurut model belajar ini bukan semata-mata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik. Melalui belajar dari teman yang sebaya dan di bawah bimbingan guru, maka proses penerimaan dan pemahaman siswa akan semakin mudah dan cepat terhadap materi yang dipelajari.

Model belajar cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama di antara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar. Cooperative learning is more effective in increasing motive and performance students (Michaels, 1977). Model belajar cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning, pengembangan kualitas diri mahasiswa terutama aspek afektif siswa dapat dilakukan secara bersama-sama. Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip cooperative sangat baik digunakan untuk mencapai tujuan belajar, baik yang sifatnya kognitif, afektif, maupun konatif (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1994). Suasana belajar yang berlangsung dalam interaksi yang saling percaya, terbuka, dan rileks di antara anggota kelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh dan memberi masukan di antara mereka untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan moral, serta keterampilan yang ingin dikembangkan dalam pembelajaran.

Secara umum, pola interaksi yang bersifat terbuka dan langsung di antara anggota kelompok sangat penting bagi siswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Hal ini dikarenakan setiap saat mereka akan melakukan diskusi; saling membagi pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan; serta saling mengoreksi antar sesama dalam belajar. Tumbuhnya rasa ketergantungan yang positif di antara sesama anggota kelompok menimbulkan rasa kebersamaan dan kesatuan tekad untuk sukses dalam belajar. Hal ini terjadi karena dalam cooperative learning siswa diberikan kesempatan yang memadai untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi dan memperkaya pengetahuan yang dimiliki dari anggota kelompok belajar lainnya dan guru.

Suasana belajar dan rasa kebersamaan yang tumbuh dan berkembang di antara sesama anggota kelompok memungkinkan siswa untuk mengerti dan memahami materi pelajaran dengan lebih baik. Proses pengembangan kepribadian yang demikian, juga membantu mereka yang kurang berminat menjadi lebih bergairah dalam belajar (Hamid Hasan, 1996; Kosasih, 1992; Stahl, 1994). Siswa yang kurang bergairah dalam belajar akan dibantu oleh siswa lain yang mempunyai gairah lebih tinggi dan memiliki kemampuan untuk menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Suasana belajar seperti itu, di samping proses belajarnya berlangsung lebih efektif, juga akan terbina nilai-nilai lain (nurturant values) yang sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu nilai gotong royong, kepedulian sosial, saling percaya, kesediaan menerima dan memberi, dan tanggung jawab siswa, baik terhadap dirinya maupun terhadap anggota kelompoknya. Dalam kelompok belajar tersebut, sikap, nilai, dan moral dikembangkan secara mendasar (Hamid Hasan, 1996). Belajar secara kelompok dalam model pembelajaran ini merupakan miniatur masyarakat yang diterapkan dalam kehidupan di kelas yang akan melatih siswa untuk mengembangkan dan melatih mereka menjadi anggota masyarakat yang baik.